Wednesday 20 September 2017

Jeritan hati anak manusia

Hari ini ada seorang anak yang membuntutiku. Seperti biasa, pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan. Ada apa nak? Sapaku. Lalu dia mengambil posisi untuk duduk di dekatku, tak lama kemudian ia mulai bercerita.

Mulanya ia hanya ingin mengeluhkan tentang keadaannya, namun kemudian merambat kepada keluarganya. Ya orang tua.

Aku sejenak menyayangkan ketika orang tua ayah ibu saling tidak memperhatikan anaknya ketika terjadi cek cok diantara mereka. Bagiku memang seperti cenderung egois. Memikirkan diri mereka sendiri. Ah, maaf jika ini terlalu menjugje orangtua atau sok dan bagaimana. Karena disini aku benar benar duduk di posisi pendengar mereka. Anak anak korban pertengkaran orang tua yang tak bersalah.

Dia seketika menangis saat aku mulai menyimak ceritanya. Dia anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya bekerja yang hanya pulang dua minggu sekali, sedangkan sang ibu mengisi waktu luang dengan menjual barang via online.

Ketika masih menduduki tingkat SD, sebut saja dinda. Dinda seringkali menangis saat mendapati ayah ibunya bertengkar di hadapannya. Tepat. Bahkan beberapa tindakan yang tidak layak untuk dilihat anak usia demikian sudah menjadi makanannya sehari hari. Memukul, berkata kotor, berteriak. Itu semua sudah sangat biasa ia cegukkan dalam pikirannya. Berkali kali ia hanya bisa menangis, sampai akhirnya saat ia menduduki kelas akhir SD dia memberanikan diri untuk melerai mereka. Dengan derai air mata yang mengurai, dia berteriak dan mengancam jika mereka melanjutkan ia akan kabirbdari rumah.
Hening, diam dan berhenti. Aku benar benar tak kuasa mendengar ceritanya. Dia memang terlihat sangat berbeda dengan teman teman lainnya. Cenderung ingin diperhatikan lebih, sungguh. Bukan karena apa, kini aku pun semakin mengerti betapa hubungan keluarga mempengaruhi perkembangan psikologi anak. Sangat berpengaruh. Dinda menjadi seorang anak yang suka cari perhatian, kurang semngat dan keras. Dia pun merasakan hal itu,  marasa sering marah jika ada secuil yang tidak pas dengannya. Aku sangat menyayangkan jika Andai para orang tua yang kurang bisa menjaga emosinya di depan anak anak, pastilah sangat berdampak fatal untuk kehidupan si anak ke depannya.

bagaimanapun pertikaian orang tua, agar lebih dikondisikan lagi dimana dan kapan waktu yang tepat. Apalagi jika hal hal yang sepele yang membuat mereka bertengkar. Okelah tidak akan menyangkal bahwa setiap rumah tangga pasti ada cek cok atau masalah yang membuat perbedaan presepsi, tapi bagaimanapun orang tua harus untuk tidak menunjukkan itu pada anak. selesaikan itu dulu di tempat yang tidak semua orang tau. Di kamar pribadi misalnya. Psikologi anak sangat berpengaruh jika sejak kecil sudah melihat hal hal yang tidak membuatnya nyaman. Bisa2 mereka mencari kenyamanan lain seain dirumah, bermain tanpa memikirkan keluarga lagi, cuek, tertutup dsb. Apa rela anak bapak ibu jadi begitu yang pada dasarnya disebabkan karena ulah kalian sendiri? Bahkan dinda, kembali ke tokoh awal, mulanya curhat ke ibunya, namun seringkali tidak dipercaya dan diabaikan. karena sudah tak lagi merasa nyaman, ia malah lari ke orang lain. Coba bayangkan, iya kalau pelariannya baik, kalau tidak? Bisa apa kita?

Sesekali mari kita mulai koreksi diri masing-masing. Apa yang menyebabkan anak demikian. Tidak nurut dan suka bangkang. Koreksi diri sendiri terlebih dahulu jika merasa a asalahnya, baru perlahan meluruskan. Sungguh cara itu adalah palping menyenangkan.
Semoga bermanfaat 😇

Malam kemarin, 21.35 am
Jombang, 19 september 2017

No comments:

Post a Comment