Identitas gender
Perbincangan
tentang gender, kini telah menjadi sebuah kebudayaan baru mengenai hubungan
laki-laki dan perempuan yang telah menempatkan dan mendorong kata kesetaraan,
sebagai sebuah ikon penting dalam merekonstruksi sebuah kultur yang dibuat, dibangun untuk
menegakkan hubungan yang setara dan adil dalam kemajuan bersama untuk mencapai
derajat mutu manusia.
Gender
adalah kontruksi sosio budaya yang merupakan sebuah ikon dari kontruksi
hubungan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Yang lebih popular disebut
dengan relasi gender.prilaku mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan
disebut budaya gender.[1]
Gender
sebagai alat analisis umumnya dipergunakan oleh penganut aliran ilmu social
konflik yang memusatkan pada ketidakadilan structural dan sistem yang
disebabkan oleh gender. Gender, sebagaimana dituturkan oleh Oakley (1992) dalam
sex, gender and society adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan
kodrat tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (seks) adalah
kodrat tuhan, karenaNya secara permanen berbedasementara gender adalah behavioral
differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yakni
perbedaan yang bukan kodrat Than, melainkan diciptakan oleh baik kaum laki-laki
maupun perempuan melalui proses social dan budaya yang panjang. Caplan (1987)
dalam the cultural construction of sexuality menguraikan bahwa perbedaan
prilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui
proses social dan cultural. Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke
waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis
kelamin (seks) akan tetap tidak berubah.[2]
Peran
gender
Perbedaan
antara laki-laki dan perempuan secara biologis sudah terjadi sejak masa
perkembangan embriologis. Hanya saja dalam kenyataan historis ternyata hampir
semua etnis bangsa-bangsa di dunia, seringkali perbedaan biologis itu
diterjemahkan terlalu jauh dalam peran gender. Terjadi kesenjangan dikotomis
dalam peran gender yang tidak proposional dan sangat merugikan martabat
perempuan. Dan karena ketidakadilan gender itu sudah berlangsung dari generasi
ke generasi di hampir seluruh etnis bangsa-bangsa, maka ketidakadilan itu menjadi
sulit diidentifikasi ketidakadilannya. Bahkan ketika islam dating untuk
mengembalikan kehormatan dan martabat perempuan, baik dalam konsep ajaran
maupun dalam contoh keteladanan yang diberikan rasululloh SAW, umat dan bangsa muslim masih juga belum mampu
mengaktualisasikan dalam kehidupan social mereka.
Ketidakadilan
peran gender yang sudah membudaya tersebut akan mengakibatkan dampak negatife
seperti tindakan kekerasan dan pelecehan serta beban kerja domestic yang
terlalu banyak. Dari sinilah kesetaraan gender tersebut berperan, yakni dengan
tujuan untuk mendapatkan hak dan kewajiban yang sama antara kaum laki-laki dan
perempuan. Dalam pandangan islam pun demikian, mereka merupakan kelompok umat
manusia yang satu. Atas dasar ini, maka hak dan kewajiban mereka adalah sama.
Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan di dalam mengajak manusia
kepeda keimanan. Allah berfirman, “katakanlah, ‘hai manusia, sesungguhnya aku
adalah utusan Allah kepadamu semua’ .” ( Q.s al-a’raf: 158)[3]
Diantara
hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan adalah:
1. islam
telah mempersamakan berbagai kewajiban yang berkaitan dengan ibadah, seperti
shalat, puasa, zakat, dan haji. Dari segi kewajiban melaksanakannya. allah
berfirman “dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatlah kepada rasul,
supaya kamu diberi rahmat” (Q.s an-nur: 56)[4]
2. islam
menganjurkan kepada setiap laki-laki dan perempuan untuk menghiasi dirinya
dengan perangkai yang terpuju atau akhlaqul karimah. Allah menyatakan dalam al
qur’an, “hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang- orang yang sabar” (Q.s al-
baqarah: 153)[5]
3. islam
mempersamakan antara laki-laki dan perempuan dalam tata hokum muamalat, seperti
jual-beli, sewa-menyewa, wakalah, kafalah dan akad-akad yang berhubungan dengan
sesame manusia. Allah berfirman, “hai orang-orang yang beriman, penuhilah
akad-akad itu” (Q.s al-maidah: 1)[6]
Jika
diperhatikan, semua nash yang berkaitan dengan muamalah ini bersifat umum dan
berlaku untuk laki-laki dan perempuan[7]
4. islam
menyamakan sanksi terhadap keduanya bila melanggar hokum alllah. Sebagai
contoh, Allah menyatakan “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka daralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah
belas kasihan kepeda keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah dan
hari akhirat ” (Q.s an-nur: 2)[8]
5. islam
mewajibkan menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada umat islam tanpa membedakan
jenis laki-laki dan perempuan. Allah menyatakan “maka tanyakanlah olehmu kepada
orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” (q.s al-anbiya’: 7)
Adapun
persamaan kedudukan perempuan dengan laki-laki menurut al-qur’an antara lain:
1. dari
segi pengabdian: islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam
pengabdian. Perbedaan yang dijadikan ukuran untuk memuliakan dan merendahkan
derajat mereka hanyalah nilai pengabdian dsan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Dalam al Qur’an, surat al hujurat: 13 “wahai seluruh manusia, sesunggunhnya
kami telah menciptakan kamu terdiri dari laki-laki dan perempuan dan kami
jadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang termulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa” [9]
Laki-laki
dan perempuan sama-sama berhak masuk surga, sama-sama
diperbolehkan turut berpartisipasi dan berlomba-lomba melakukan kebajikan,
mengabdi kepada masyaraakat, Negara dan agama.[10]
Dasar persamaan ini ditegaskan dalam quran surat an-nahl:27, “barang siapa mengerjakan amal shaleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan”
Sehubungan
dengan hal ini,lihat pula surat ali imran: 194, at-taubah: 71, al-ahzab: 35
2. dari
segi status kejadian: al quran menerangkan bahwa perempuan dan laki-laki
diciptakan Allah dalam sederajat yang sama, sebagaimana firman Allah dlam surat
an-nisa: 1 “hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari jenis yang sama dan dari padanya Allah telah menciptakan
pasangan dan daripada keduanya Allah memperkembangkan laki-laki dan perempuan
yang banyak”[11]
Ayat
tersebut merupakan penegasan . bahwa zat untuk penciptaan manusia tidak ada
perbedaan, antara zat yang digunakan untuk menciptakan laki-laki dengan perempuan,
karena keduanya berasal dari jenis yang sama. Al-quran tidak pernah menyebutkan
bahwa perempuan pertama (hawa) yang diciptakan oleh Allah adalah suatu ciptaan
yang mempunyai ,artabat yang lebih rendah daripada laki-laki (adam). Oleh sebab
itu, status kejadian laki-laki sama dengan status kejadian perempuan.
3. dari segi mendapat godaan: di dalam al-qur’an disebutkan, bahwa godaan
dan rayuan iblis berlaku bagi laki-laki dan perempuan, sebagaimana halnya adam
dan hawa. Godaan dan rayuan setan menyebabkan adam dan hawa di deportasikan
dari surga yang disebutkan dalam al-qur’an, dibentuk dalam kata yang
menunjukkan kebersamaan keduanya, tanpa perbedaan, sebagaimana disebutkan dalam
al-qur’an, surat al-a’raf: 20 “maka setan membisikkan pikiran jahat pada
keduanya”[12]
Ayat di atas disebutkan dalam bentuk mutsannah, yang menunjukkan dua orang,
yakni laki-laki dan perempuan (adam dan hawa), bukan berbentuk mufrad. Kalaupun
ada kalimat yang berbentuk mufrad dalam masalah tertentu, tetapi kalimat itu
justru mennjukkan kepada laki-laki (adam),sebagai pemimpin dari istrinya,
sebagaimana disebutkan dalam surat at-thoha: 120 “kemudian setan membisikkan
pikiran jahat kepadanya (adam) dan berkata, ‘hai adam, maukah kutunjukkan
kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akna punah’?”
Ayat tersebut merupakan sanggahan terhadap pendapat yang mengatakan, bahwa
perempuanlah (hawa) yang digoda dan diperalat oleh setan, sehingga manusia
terusir dari surga. Dengan demikian, tidak benar tuduhan bahwa perempuanlah
sebagai sumber dari segala bencana.[13]
4. dari segi kemanusiaan: sebelum islam datang, sebagian bangsa arab
mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena alasan takut miskin atau tercemar
namanya. Hal ini disebut dalam al-qur’an surat an-nahl: 58 “dan apabila
seseorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam
(merah padamlah) wajahnya dan ia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan
dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya
itu, (ia berpikir) apakah ia memeliharanya dan menanggung kehinaan atau
menguburnya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruk apa yang
mereka tetapkan itu”
Ayat ini dan semacamnya, menolak pandangan yang membedakan laki-laki dan
perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan, dimana Allah menegaskannya dalam
ayat tersebut. Alangkah buruknya yang mereka tetapkan tersebut.[14]
Penjelasan-penjelasan tersebut menguatkan bahwasannya kesetaraan gender
tersebut sudah terjadi dalam pandangan islam, namun masih banyak kalangan yang
sangat membedakan antara hak dan kewajiban diantara keduanya.
B. kepemimpinan wanita
Q.s. At-taubah: 21
“ dan
orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, sebagian dari mereka
(adalah)menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh( mengerjakan)yang
ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembayang, menunaikan zakat dan
mereka ta’at kepada Allah dan rasul Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana. ”
Ayat
ini mengisyaratkan kemungkinan laki-laki dan perempuan dapat menjadi pemimpin
atau berposisi dalam arti menyeru dalam kebenaran dan mencegah kebatilan.
Kalimat ynag terdapat dalam ayat itu menunjukkan, adanya pengertian pemegang
otoritas, tentu bukan saja dalam lingkup domestik seperti rumah tangga tetapi
juga di wilayah publik, sebagaimana konteks ayat ini menyebutkan. Perempuan
diidealisasikan memiliki kemandirian politik (60:12)
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا
يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ
أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ
وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
dan
kemandirian ekonomi guna memperoleh kehidupan yang layak (16: 97).
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
Perempuan dan
laki-laki mempunyai kapasitas yang sama sebagai hamba (4:124)
وَمَنْ
يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
dan khalifah
(2:30).
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Bahkan
al-qur’an menyerukan ‘perang’ terhadap suatu negeri yang menindas kaum
perempuan (3:75)
وَمِنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ
وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لَا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلَّا مَا
دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لَيْسَ عَلَيْنَا فِي
الْأُمِّيِّينَ سَبِيلٌ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
, oleh karena itu, semua penafsiran yang bersifat
menindas atau mengesampingkan peran perempuan sudah semestinya ditinjau ulang,
karena tidak sejalan dengan semangat dasar al-qur’an.
Sebagai
sebuah perbandingan, para pemikir muslim kontemporer mencoba menafsirkan ayat
tersebut ke arah penafsiran yang mengandung kesetaraan dan keadilan. Fazlur
rahman misalnya, seorang srjana asal pakistan yang banyak mengkaji tentang
metodologi tafsir klasik, menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan
bukanlah perbedaan haqiqi tetapi fungsional. Jika seorang istri di bidang
ekonomi dapat berdiri sendiri, baik karena warisan atau kemampuannya sendiri,
dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan
suaminya akan berkurang karena sebagai seorang manusia, ia tidak memiliki
keunggulan dibanding istrinya.
Senada dengan fazlur rahman, amina wadud muhsin,
seorang aktivis perempuan muslim yang tinggal di amerika, menyatakan laki-laki
adalah pemimpin atas perempuan tidaklah dimakhsudkan untuk memberikan
suprioritas kepada laki-laki secara otoritas melekat pada semua individu tetapi
hanya terjadi secara fungsional yakni selama laki-laki tersebut memenuhi
kriteria yang disebutkan al-qur’an:
1. jika laki-laki tersebut mampu membuktikan
kelebihannya.
2. mampu memberikan nafkah terhadap keluarganya.
3. kelebihan yang dijamin al-qur’an terhadap
laki-laki adalah warisan, dimana laki-laki mendapat dua bagian dari kaum
perempuan. Kelebihan itu harus digunakan laki-laki untuk mendukung
perempuan.
[1]
Qodry A, wahid M. Pemikiran islam kontemporer di Indonesia.ternate 2005
(bag II: 93)
[3]
lihat surat fushilat: 33, ali imran: 144 dan lainnya.
[4]
Lihat surat al ahzab: 33, al baqarah: 183, ali imran: 97.
[5]
Lihat surat ali imran: 102, al-anfal: 27, al hujurat: 11-12, al-ahzab: 35.
[6]
Lihat surat an-nisa’: 29, 32 dsb.
[7] Dr. abdul hay al-farmawy, sholawatun fi
awamil mar’ah, maktabut turots al-islami. Kairo, hlm 98
[8] Lihat masalah qadhaf (Qs. An-nur: 4-5),
masalah pencuri (al-maidah: 38), masalah qishas (Q.s al-baqarah: 178)
[9] Hamka, Prof. Dr< kedudukan perempuan
dalam islam.
[10] Rasyid ridho, muhammad, huququ an-nisa fi
al islam
[11] Huzaemah T., “konsep wanita menurut
qur’an, sunnah, fiqh”, dalam wanita indonesia dalam kajian tekstial dan
kontekstual.
[12] Shihab, quraish, “konsep wanita menurut
qur’an, hadist, dan sumber-sumber ajaran islam” dalam wanita indonesia dalam tekstual dan
kontekstual.
[13] As-suyuthi, al-jami’ as- shagir.
[14] Syalthur, Prof. Dr. Mahmud, islam
aqidah wa syari’ah
No comments:
Post a Comment