Lalu lalang kendaraan
melintasi jalan raya yang kian hari semakin meretak, rapuh. Jalan raya tua yang
sudah tak dihiraukan lagi oleh pemerintah untuk diperbaiki. Konon katanya jalan
raya ini mempunyai sejarah yang buruk dan mengerikan. Banyak tragedi kecelakaan
dan berakhir kematian yang mengerikan, oleh sebab itu tak banyak khalayak yang
memilih untuk melewati jalan itu. Namun hal ini tidak berlaku bagi para
penikmat minuman berkafein. Ternyata tak sedikit dari mereka memilih untuk
melintasi jalan raya itu demi segelas atau bahkan seseruput minuman hitam yang
mengandung serbuk kopi itu. Entah kenikmatan apa yang membuat mereka rela antri
untuk mendapatkan semua itu. Apalagi saat putung- putung rokok berserakan di
setiap asbak yang terdapat di meja ruangan itu dan berbagai aroma tak sedap
yang seringkali membuat tak nyaman dan yang menjadikan tanda tanya besar bagiku
tentang kenikmatan apa yang di dapat hingga harus mengorbankan hidung dengan
udara tak sehat itu.
Kafe Semerbak, begitulah
orang-orang menyebutnya. Mungkin dari aroma- aroma yang tak bisa terdeteksi itu
yang menjadikan nama tersebut semakin tercium oleh semua kalangan baik dari
tingkat menengah kebawah sampai kalangan paling atas di seluruh penjuru Negara,
seolah tak ada yang tak mencium aroma semerbak kafe itu. Tak hanya itu, desas
desus yang membawa nama kafe itu pun selalu terdengar dari setiap lisan para
khalayak. Yah, tentunya itu yang menjadikan nama kafe ini semakin melejit.
Semakin hari tak dapat
celah lagi yang bisa kuintai dari lubang-lubang kecil terbuat dari semen di
sebelah tempat itu. Semakin banyak pendatang yang memadati bangunan klasik yang
dipenuhi kaca buram nan hitam. Kadang terbesit sebuah kenangan yang tragis
hingga aku berkali-kali menahan diriku untuk melakukan itu. Yah, keinginanku
hanya satu. Ingin memusnahkan semerbak itu. Semerbak yang tak lagi merusak
hidung, bahkan merusak otak dan hati para pendatang.
“Maria, cepat masuk rumah”
Perintah Ayahku yang selalu kudengar setiap kali dia mendapatiku mengintai dari balik lubang- lubang kecil tempat pergantian udara. Penyampaiannya selalu dengan penekanan yang amat dalam, terselip untaian kisah masalalu yang kelam dalam setiap hembusan nafasnya. Dan tentunya aku pun harus mengikuti perintahnya.
“ayah tidak mau jika kau harus berakhir
seperti mendiang kakakmu”
Dan tambahan kalimatnya inilah yang selalu
membebani otakku, bahkan menjadikannya sebagai monitor penggerak pola pikirku.
***
“ayo minum Reihan! Hanya segelas kopi
hitam saja kau tak mau mencobanya!” suara seorang teman reihan yang terdengar
amat menjatuhkan. Saat itu, Reihan hanya memandang kosong secangkir kopi hitam
tanpa respon apapun.
“apa bedanya kau dengan para wanita itu,”
tambah suara itu. Kali ini suaranya semakin menekan, menjatuhkan. Seraya
menunjukkan beberapa wanita manja yang barusaja melintas di hadapannya,
Sedangkan reihan tetap dengan pandangan kosongnya.
“dan kau rela dengan wanitamu, agar
bersamaku?” tambahnya lagi. Sejenak Reihan terbangun dari kekosongannya,
memandang sosok lelaki di hadapannya lekat-lekat. Tersorot amarah yang amat
menyeruak. Sorotan yang amat tajam bak asahan pisau yang baru saja diasah
ulang. Beberapa menit dalam diam, lalu segera menghabiskan secangkir kopi hitam
yang dihadapkan kepadanya. Seketika sorot mata seisi ruangan hanya tertuju
kepadanya. Mungkin bagi mereka ia adalah sosok yang amat pemberani dalam
menghabiskan minuman dengan berbagai ramuan haram yang tercampur di dalamnya-
yang telah mereka ketahui sebelumnya. Dan bagi mereka ini merupakan cinta buta.
Hanya demi seorang wanita yang dicintainya-mungkin- ia rela menelan duri
kematian. Atau memang ia sudah tahu akibat apa yang akan dialaminya, atau
bahkan memang ia ingin bunuh diri? Yah, berbagai kemungkinan telah tersebutkan,
dan ini mungkin hanya beberapa dari setiap kepala penonton adegan mengerikan
itu.
Waktu pun berlalu, suara
hiluk piluk kendaraan para polisi mulai terdengar lirih, semakin mendekat dan
yah, suasana kafe pun seketika hening. Entah kemana para pengunjung yang
sebelumnya terdengar ricuh tiba-tiba membisu bahkan hanya tinggal putung-putung
rokok serta cangkir-cangkir kosong yang kotor dan seorang laki-laki yang
tertinggal dengan mulut yang penuh busa. Lemah tak berdaya. Parasnya yang
atletis dan kuat pun tak terlihat seperti sebelumnya, benar- benar tak berdaya. beberapa barang yang ditemukan para polisi pun segera dikemas untuk
diseidiki dan yang lainnya membawa laki-laki itu ke rumah sakit.
Beberapa hari dirawat
namun memang takdir telah menjemputnya untuk kembali. Dan ia pun meninnggal
dikarenakan overdosis dari campuran bahan ekstasi yang terdapat pada minuman
yang beberapa menit sebelum meninggal ia minum. Tentunya telah diselidiki oleh
para polisi yang menemukannya dalam keadaan yang mengenaskan.
***
“Reihan Firmansyah”
Tertulis rapi di atas
batu nisan yang sedang terpendam sebagian dengan gundukan tanah pemakaman.
Aroma bunga kamboja kian semerbak karena hembusan angin sore yang sejuk. Yah,
bukan lagi semerbak aroma serbuk kopi dan asap rokok yang tercium melainkan
wewangian bunga pemakaman yang entah ada atau tidak manfaat bagi pemilik batu
nisan. Beberapa derai air mata terjatuh dari setiap pandangan orang-orang
disekitar pemakaman. Betapa malangnya sosok yang barusaja ditempatkan di lubang
yang sempit lalu ditimbun dengan tanah pemakaman yang harus hidup sendiri
tanpa seorang pun menemani di alam sana. Beberapa kali aku mengusap mataku,
membersihkan beberapa tetesan airmata dan meyakinkan ukiran batu nisan yang
sejak tadi tak henti kulihat. Yah, kakakku sudah tiada. Ia pergi meninggalkan
kami untuk menuju alam barunya.
Kesehariannya yang
sangat mengagumkan membuat para lelaki lain iri kepadanya karena tak sedikit
wanita muslimah yang ingin menjadi pendampingnya. Ia adalah idolaku kala itu,
selalu rajin sholat jamaah di masjid dan merapikan masjid kala sebelum dan
sesudah sholat dilaksanakan. Bahkan ia sempat diminta beberapa orang tua untuk
mengajar mengaji bagi anak- anak mereka. Namun, beberapa bulan sosok yang ku
kenal pun menghilang. Setelah mengenal beberapa teman baru yang liar, ia jadi
jarang sholat, bahkan untuk berjamaah untuk sholat sendiri saja beberapa kali
aku mengingatkannya hanya berlalu dalam telinga. Entah sejak itu aku semakin
tak mengenali sosok kakakku. Seperti dunia sedang berbalik bagiku terhadapnya.
Lambat laun, aku mulai menjadi dewasa. Aku mempelajari agama islam dengan
seksama dan memang begitulah takdir Tuhan yang telah tertulis di lauh mahfud untuk kakakku. Dan dari sini aku belajar
meski awal baik tak selamanya semua itu akan berakhir dengan kebaikan, ini
tergantung dari individu masing masing. Bagaimana ia harus menjaga dirinya agar
dapat meninggalkan dunia ini dalam keadaan yang husnul khotimah. Dan bagaimanapun ajal
pasti datang, seolah secangkir kopi hitam dan teman kakakku yang terjahat
itulah pengantar kematian kakakku, dan tentunya dengan kafe dengan semerbak bau
tak jelas yang sempat membuatku ingin membakarnya. sejenak aku pun memahami,
menelaah kejadian yang sudah lama namun tak pernah kudapati kebenarannya. Yah,
memang sudah tertulis dalam skenario hidup jika memang akhir dari kisah kakakku
adalah seperti ini, naudzubillah. Dan sungguh, aku telah
sadar bahwa secangkir kopi hitam, teman kakakku dan kafe semerbak bukanlah
sebab hakiki kematian kakakku melainkan hanya perantara yang telah
diskenariokan Tuhan dalam bukunya.*
Seblak-jombang, 5 desember 2013
No comments:
Post a Comment