Monday 24 November 2014

Dibalik Fenomena Bencana Alam


Sejak pembukaan tahun 2014 ini, sudah berapa kali diberitakan bencana alam dari berbagai penjuru tanah air Indonesia? Seluruh awak media mungkin atau bahkan sudah kenyang dengan berbagai informasi tentang keadaan alam kita yang semakin menua ini. Bermula gunung meletus sinabung, banjir ibukota, tanah longsor jombang, dan yang baru saja kita dengar adalah gunung kelud yang meletus dengan ketinggian laha mencapai 17.000 m. dampak yang ditimbulkan pun tentunya tidak sedikit jumlahnya baik dari korban yang meninggal sampai kerugian dari segi  materinya. Dalam hal ini tentunya tak satupun mau dirugikan, tak ayal jika  semua penjuru negara mengelak untuk dijadikan penyebab bencana tersebut.
         Sebagai manusia yang sewajarnya, tentunya membela diri sendiri itu merupakan suatu hal yang signifikan bagi setiap individu. Begitupun dengan mengelak bahwa kita sebagai penghuni belahan dunia ini tidak mungkin bagi kita untuk merusak alam yang kita tempati ini. Namun semua itu hanya ilusi semata. Sadar atau tidak, manusia sendirilah yang mengakibatkan semakin tuanya alam Indonesia ini sehingga dapat kita rasakan dampak bencana yang timbul akibat ketidak sadaran kita ini.
Bahkan dalam al-quran disebutkan bahwasannya “telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar ” (QS. Ar-Ruum:41). Hal ini menekankan bahwasannya kerusakan yang terjadi di alam ini tak lain juga karena perbuatan manusia yang salah. Dan Tuhan memberikan dampak yang bisa kita rasakan sekarang ini sebagai pelajaran akibat ulah manusia dan agar manusia kembali pada jalan yang benar, yakni kembali membumikan prilaku yang ramah lingkungan.

Sunday 23 November 2014

bergantung kepada orang tua? masalah besar!


Mengikuti anjuran orang tua seperti sudah menjadi pilihan yang tidak bisa diganggu gugat dalam skenario hidup ini. hal ini terlihat ketika seorang anak mulai menduduki bangku sekolah. tentunya mulai dari situ pula orang tua telah merancang berbagai strategi yang harus dijalani oleh anak tersebut untuk ke depannya. seperti, sekolah mana dan pendidikan apa yang akan dipelajari oleh anaknya, baik dari segi spiritual, exsact, atau bahkan ekstrakulikuler pun juga dirancang sedemikian rapi. padahal belum tentu bakat anak sesuai dengan apa yang telah dirancang oleh orang tua tersebut.
Perlu mereka ketahui bahwa tidak semua anak dapat dengan cuma- cuma menganut anjuran orang tua. ada yang ingin mengembangkan bakatnya yang ternyata baru diketahuinya di usia remaja, ada juga yang dengan pasrah tetap tunduk  pada garis yang sudah dirumuskan oleh orang tuanya. hal ini membuktikan bahwa kemampuan setiap anak itu tidak sama.

Tuesday 18 November 2014

Cerpen: Secangkir Kopi Hitam :)


Lalu lalang kendaraan melintasi jalan raya yang kian hari semakin meretak, rapuh. Jalan raya tua yang sudah tak dihiraukan lagi oleh pemerintah untuk diperbaiki. Konon katanya jalan raya ini mempunyai sejarah yang buruk dan mengerikan. Banyak tragedi kecelakaan dan berakhir kematian yang mengerikan, oleh sebab itu tak banyak khalayak yang memilih untuk melewati jalan itu. Namun hal ini tidak berlaku  bagi para penikmat minuman berkafein. Ternyata tak sedikit dari mereka memilih untuk melintasi jalan raya itu demi segelas atau bahkan seseruput minuman hitam yang mengandung serbuk kopi itu. Entah kenikmatan apa yang membuat mereka rela antri untuk mendapatkan semua itu. Apalagi saat putung- putung rokok berserakan di setiap asbak yang terdapat di meja ruangan itu dan berbagai aroma tak sedap yang seringkali membuat tak nyaman dan yang menjadikan tanda tanya besar bagiku tentang kenikmatan apa yang di dapat hingga harus mengorbankan hidung dengan udara tak sehat itu.
Kafe Semerbak, begitulah orang-orang menyebutnya. Mungkin dari aroma- aroma yang tak bisa terdeteksi itu yang menjadikan nama tersebut semakin tercium oleh semua kalangan baik dari tingkat menengah kebawah sampai kalangan paling atas di seluruh penjuru Negara, seolah tak ada yang tak mencium aroma semerbak kafe itu. Tak hanya itu, desas desus yang membawa nama kafe itu pun selalu terdengar dari setiap lisan para khalayak. Yah, tentunya itu yang menjadikan nama kafe ini semakin melejit.
Semakin hari tak dapat celah lagi yang bisa kuintai dari lubang-lubang kecil terbuat dari semen di sebelah tempat itu. Semakin banyak pendatang yang memadati bangunan klasik yang dipenuhi kaca buram nan hitam. Kadang terbesit sebuah kenangan yang tragis hingga aku berkali-kali menahan diriku untuk melakukan itu. Yah, keinginanku hanya satu. Ingin memusnahkan semerbak itu. Semerbak yang tak lagi merusak hidung, bahkan merusak otak dan hati para pendatang.
“Maria, cepat masuk rumah”

Refleksi: Me‘nanti’ yang Memilukan

Bukan sebuah penantian pajang yang menjadikan seseorang semakin pilu, pemakaian kata ‘nanti’ lah yang memilukan setiap orang. Sungguh mudah diucapkan dan amat diyakini tidak akan berakibat fatal di kemudian hari.  Padahal, itu adalah dosa besar!
                Saat menemukan suatu ide untuk ditulis misalnya, ketika hendak menuju kantin, tiba- tiba ide itu muncul tanpa disengaja. “ah, nanti sajalah sekalian buka laptop” Dalam hati pun ingin mencatat tapi karena sudah didahului dengan kalimat nanti, kata ringan yang mudah sekali diucapkan.  walhasil apa yang diinginkan pun akhirnya  tidak tecatat. Yang amat disayangkan, ketika sudah dikejar deadline, dan ternyata ide tersebut sudah memudar, maka galau- lah sudah. Inilah yang sering dialami oleh para penulis pemula.
                Sedangkan yang biasa dialami oleh mahasiswa pun demikian, seolah- olah kata ‘nanti’ tersebut akan seketika mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk.