Entah langkah apalagi yang akan ia lalui
Meski ia hanya seorang diri
Tapi itulah kehidupan yang harus ia jalani
Untuk tetap bisa bernafas dan merasakan
indahnya dunia ini,,
“jadi, kamu anak tunggal Riz??” sontak mata Alya
melotot terkejut mendengarkan pernyataan sahabat karibnya. gimana nggak? Setiap
awal bulan kunjungan santri yang dia lihat dari jajaran keluarga yang paling
menghabiskan tempat adalah keluarga Rizka.
“iya, emang kenapa? Heran banget Al?” jawab Rizka
kemudian setelah melihat ekspresi Alya yang semakin terlihat antusias
“ lha terus, yang biasa kunjungin kamu pas awal
bulan itu?” tanya Alya antusias
“oohh,, itu mah keluarga besar” jawabnya
singkat, tetap dengan ekspresinya yang tenang. Memang akhir- akhir ini rizka
termasuk anak yang tenang dan tidak banyak tingkah.
“tapi kayaknya mama kamu ga pernah ikut?” entah
sisi apa yang mendorong Alya mempertanyakan hal yang amat susah dijawab Rizka.
Seketika Rizka pun meninggalkan Alya dengan segudang pertanyaannya.
***
Matahari mulai kembali ke peraduannya, sang
mega merah turut mengantarkan kembalinya sang mentari sembari mewarnai indahnya
langit sore itu. saat itu adalah saat yang dinantikan oleh jajaran finalis
lomba pidato di gedung utama kota Surabaya.
“dan pemenang utama lomba pidato tingkat SMA se
jawa timur yakni saudari Rizka kamila dari pondok pesantren Al-Multazam!!”
Serentak tepuk tangan pun meramaikan pengumuman yang amat dinantikan. Beberapa
teman Rizka pun menghampirinya, memeluk dan memberikan selamat padanya.
Beberapa ustadzah pun turut menghampirinya, memberikan senyuman hangat yang
sungguh menyejukkan. Tak lama kemudian ia pun naik ke atas panggung untuk
menerima hadiah dan sekedar foto bersama dengan finalis lainnya. Saling
berjabat tangan bagi yang putri dan memberikan selamat.
Rizka adalah salah satu santri berprestasi di
bidang pidato sejak 2 tahun terakhir, sejak menginjak SMA ia menuntut ilmu di
Pesantren Al-Multazam karena ia memilih untuk tidak menetap di rumah.
Tanpa disadari, air mata Rizka pun menetes
perlahan saat dilihatnya beberapa finalis bergandengan dengan ibunya
masing-masing. Alya yang mengetahui tetesan airmata itu segera datang dan
mengusap air matanya. Rizka pun langsung memeluk hangat Alya. Dirasakan beban
berat yang diemban Rizka. Entah apa yang mengubah Rizka yang periang menjadi
pendiam belakangan ini, sepertinnya ini adalah salah satu alasan itu.
Alya pun meminta ustadzahnya untuk menemani
Rizka berfoto-foto di panggung, sebagai ganti dari ibunya. Sesaat ia ikut
merasakan kesedihan sahabat karibnya. baru kali ini ia melihat Rizka yang
tenang meneteskan airmatanya.
Beberapa menit berlalu, akhirnya rombongan
pesantren Al-multazam pun meninggalkan gedung. Perjalanan untuk kembali menuju
asrama pun berlalu, semua santri kembali dalam penjara suci mereka.
Saat itu langit terlihat sangat gelap,
sepertinya bulan dan bintang sedang enggan berpartisipasi untuk menghiasinya,
awan hitam pun terlihat semakin menguasai mewakili perasaan Rizka yang kian
menanjak, Rizka memandang langit hampa. Menengadah sejenak lalu kembali
menunduk, malam ini adalah saat dimana ia harus menghilangkan rindu yang telah
menyiksa.
***
Seperti biasa, rutinitas malam kamis pun
berlaku. Istighosah akbar dan siraman rohani bersama dengan Romo yai di masjid
lantai dasar. Beberapa santri pun berbondong-bondong membawa mukena sholatnya
menuju lantai dasar, karena adzan magrib telah dikumandangkan. Beberapa menit
kemudian sholat magrib pun dilaksanakan berjamaah.
“do’a yang paling mujarab adalah doa sang ibu
untuk putra putrinya, betapa mulianya seorang ibu hingga Allah dengan mudah
mengabulkan doa-doa beliau” tutur Romo yai dengan arifnya, seluruh pendengar
pun tetap dalam kediamannya, entah sibuk dengan pikiran masing-masing ataukah
mendengarkan petuah-petuah yang sedang dipaparkan oleh sang arif.
“Dan bagaimana kalau ibu kita meninggalkan
kita?” tiba-tiba suara Rizka terdengar ketus, meski agak lirih namun tergambar
aura kebencian di dalamnya.
Ternyata sang kyai mendengar ucapan itu, serentak
sorot mata tertuju pada sumber suara. Romo yai pun membalasnya dengan senyuman,
senyum hangat yang menenangkan. Kemudian beliau menjawabnya.
“seorang ibu itu tidak mungkin meninggalkan
anaknya, kecuali dia memilki alasan tertentu. Ingat bagaimana perjuangan
seorang ibu terhadap kalian saat bersusah payah mengandung, mempertahankan
kandungan agar kalian bisa hadir di dunia ini, berapa lama kandungan itu dan
bagaimana perjuangan beliau saat beliau menghadirkan kalian, melahirkan kalian
di dunia ini” papar romo yai tenang, suaranya yang teduh pun meneteskan airmata
beberapa santri yang sedang merindukan emaknya. Namun tak berlaku lagi bagi Rizka.
Kali ini ia tak bisa meneteskan air mata lagi untuk orang yang sudah sengaja
meninggalkannya. Bahkan kerinduan itu membeku menjadi kebencian yang membatu.
Mata menatap namun fikiran menerawang jauh
menuju masa lampau yang tak karuan. Yah, itulah yang dialami Rizka malam ini,
menatap ke depan memandang Romo yai, namun fikiran melaju kebelakang. Ingat dua
tahun lalu ia mengalami kecelakaan yang amat tragis. Saat itu pula ia hanya
melihat ibunya saat sebelum dioperasi, mencium hangat keningnya. Lalu perawat
membawananya ke ruang operasi, selanjutnya ia tak pernah melihat ibunya lagi
sampai detik ini. Dan itu satu-satunya alasan yang membuatnya memilih untuk
membenci ibunya, apa alasan dia meninggalkan Rizka dalam keadaan yang tak
memungkinkan itu?? disaat ia butuh support untuk tetap bertahan hidup.
***
“bagiku seorang ibu itu gak penting, ga ngaruh
banget dalam hidupku, toh aku masih bisa hidup tanpa dia” gerutu Rizka sembari
menghitung anak tangga yang telah ia lewati. Mencoba menguatkan hatinya untuk
tetap pada pendirian membenci ibunya.
“Rizka, ada panggilan di kantor depan!” ucap Laura,
salah satu santri yang baru saja piket di kantor depan. Rizka pun dengan cuek
mengiyakan informasi yang barusaja diterimanya. Segera ia menuruni anak tangga
lagi da beranjak menuju kantor depan.
Agak sedikit tanda tanya dalam benaknya,
siapakah tamu yang akan ia temui pagi ini. Yah, hari jum’at adalah hari dimana
para santri boleh menerima tamu diluar jadwal kunjungan, asal bertemunya di
kantor khusus yang lokasinya di depan pondok tentu dengan penjagaan yang ekstra
ketat.
“assalamualaikum, ada yang mencari saya
ustadzah?” tanya Rizka sesampainya di pintu kantor depan.
“waalaikumsalam, iya Riz, ini ada dokter yang
mencari kamu” jawab ustadzah kemudian, tanpa pikir panjang Rizka pun segera
menuju kursi yang memang sudah disediakan untuk pertemuan tamu.
“maaf, ada apa ya?” tanya Rizka kepada dokter
yang sedang menunggunya. Wanita paruh baya dengan balutan kostum dokter yang
terlihat anggun.
“adek yang namanya Rizka Kamila?” tanyanya
kemudian, suaranya terdengar sangat berat.
“iya, maaf anda siapa? Apa sebelumnya kita
pernah bertemu?” runtunan pertanyaan Rizka tertuju kepada wanita paruh baya
itu.
“perkenalkan, saya Anis. Dokter yang pernah
mengoperasi adek saat pasca kecelakaan 2 tahun lalu, dan memang kita pernah
bertemu sebelumnya” jawabnya kemudian, ia terlihat sangat sedih memandang Rizka,
seperti ada rahasia besar yang enggan untuk diceritakan kepada Rizka. Rizka pun
terdiam, sejenak mengingat saat-saat itu, meski ia sangat bingung dengan
kedatangan orang baru ini.
“iya dok, ada apa ya?” jawab Rizka kemudian,
meski ia tak mengingat seutuhnya tentang kejadian yang amat lampau itu, tapi setidaknya
ia tahu apa maksud kedatangan wanita ini.
“ini, titipan dari seseorang yang sangat
menyayangimu.” Ucap wanita itu sembari menyodorkan sebuah kotak yang dibalut
rapi dengan kertas kado.
“apa ini?” tanya Rizka, semakin tak tahu apa
yang sebenarnya harus ia ketahui
“ini titipan dari ibunda kamu nak,” jawabnya
kemudian, sontak Rizka mengambil dengan kasar dan melemparnya ke lantai.
Beberapa penghuni ruangan pun ikut terkejut dengan perlakuan Rizka kali ini.
Wanita paruh baya itu pun seperti sangat
memahami apa yang telah dirasakan Rizka, ia mengambil kotak itu kemudian
meletakkan kembali di atas meja, ia sengaja duduk di sebelah Rizka dan
membelainya lembut,
“maafkan ibumu nak, dia pergi demi kamu”
tuturnya kemudian,
Rizka masih dengan geramnya, dan mencoba untuk
mengeluarkan isi hatinya.
“demi aku? Apa buktinya?” balas Rizka kemudian,
rahangnya terkatup terpapar emosi yang amat dalam. Wanita itu pun mengelus
pundaknya, agar ia tidak terlalu larut denagn amarahnya.
“buktinya kamu ada sekarang ini dan kamu bisa
melihat indah dunia ini” balas wanita itu dengan tenang. Rizka yang sebelumnya
geram pun agak sedikit mencerna kalimat yang baru saja diucapkan oleh wanita
itu.
“maksutnya? Aku ada karena Allah, bukan dia”
masih dengan nada yang tinggi,
“iya nak, dan allah melewatkan kesembuhanmu
melalui ibumu. Dia yang memberikan darah dan matanya untukmu nak, dan ”
“CUKUUP!! Sandiwara apalagi yang telah anda
buat untukku?? Aku sudah sangat merindukan dia, dan higga sekarang aku
mengubahnya menjadi kebencian yang amat dalam. Cukup dok. Aku benci ibuku!! ”
Rizka tak mau mendengar cerita wanita itu, baginya itu hanya hal konyol yang
harus membuat kebencian itu hilang. Aahh. Tidak!!
“saya tau bagaimana kamu sampai harus membenci
ibumu, ini bukan sandiwara nak, ini nyata, bahkan saya mempunyai surat rumah
sakit sebagai bukti bahwa semua ini bukan sandiwara” kali ini wanita itu
meyakinkan, rizka hanya bisa diam, mencoba menerka keadaan yang entah tak tahu
harus bagaimana. Wanita itu pun menunjukkan berkas- berkas rumah sakit kepada
rizka, ia pun hanya memandang kosong. Bingung harus bagaimana, keringatnya
bercucuran deras, matanya berkaca-kaca seperti akan meneteskan air mata.
“ia meninggal setelah operasi kornea, yang akan
diberikan kepadamu dan memberikan beberapa liter darahnya untukmu, karena saat
itu darah yang jenisnya sama hanya milik ibumu, ia meninggal karena darah yang
ia butuhkan kurang dari normal. Dan kotak
itu adalah pesan terakhirya agar diberikan kepadamu saat kamu sudah bisa
hidup tanpa mengingatnya” paparnya
kemudian. Rizka pun diam, airmata kasih pun bercucuran memasahi
pipinya. Ia baru menyadari bahwa ibu adalah pahlawan hidupnya yang
bahkan sampai detik ini ia rasakan, meski beliau tak segagah pahlawan Negara
yang selalu dibanggakan, namun baginya, tetaplah ibu pahlawan hidupnya. Beliau
yang memilih untuk meninggalkan dunia agar anaknya bisa tetap ada di dunia ini.
Wanita itu pun perlahan memeluknya.
Detik itu pula ia tidak bisa memaafkan dirinya
sendiri karena sudah membenci ibu yang telah memperjuangkan hidupnya. Akan
selalu kujaga pemberianmu ibu, kornea dan seluruh aliran darah yang kau beri.
Batin Rizka menjerit, lalu Dibukanya kotak yang telah disiapkan untuknya,
disitu terdapat sebuah cincin emas yang bertuliskan nama ibunya. Yah, itulah
satu- satunya barang peninggalan ibunya atas pemberian ayahnya yang pergi
sebelum ibunya. Entah misteri apalagi yang akan ia temukan di setiap langkah
hidupnya esok, karena baginya kehidupan ini sungguh misteri.
No comments:
Post a Comment